
Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron mendorong inovasi dalam membangun ketahanan energi nasional. Ia menilai hal ini penting agar Indonesia tidak tertinggal dari negara lain.
"Penduduk kita besar dan sumber daya energi primer kita sangat terbatas," kata Herman. Hal itu disampaikannya dalam perbincangan bersama Pro 3 RRI, Sabtu (14/6/2025).
Ia menyebut batubara memiliki batas ketersediaan. Begitu pula dengan penggunaan gas alam yang tidak bisa terus diandalkan.
Karena itu, menurut Herman, pemerintah perlu mengeksplorasi potensi energi lain. Terutama energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.
"Negara-negara Eropa sudah memakai energi angin dan mengembangkannya secara masif," ujarnya. Ia menyebut Indonesia juga bisa mengikuti arah tersebut.
Herman menilai Indonesia pernah gencar memakai tenaga air sebagai sumber energi. Hal ini ditandai dengan pembangunan waduk Jatiluhur, Cirata, dan Saguling.
"Waduk-waduk ini menghasilkan listrik secara terintegrasi," katanya. Namun, ia menambahkan lokasi seperti itu sangat terbatas.
Dengan keterbatasan tersebut, ia menyarankan pemanfaatan tenaga surya. Terlebih, Indonesia memiliki paparan sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun.
"Beberapa negara menggunakan solar cell energy sebagai alternatif," ucap Herman. Indonesia harus memanfaatkan potensi itu secara maksimal.
Meski begitu, ia mengakui ada kendala dalam pemanfaatan energi baru terbarukan. Salah satunya adalah sulitnya menyimpan energi dalam jangka panjang.
"Butuh teknologi penyimpanan seperti live battery," ujarnya. Ia menyebut hal ini sebagai tantangan yang harus segera dijawab.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menargetkan bauran energi baru terbarukan pada 2025 mencapai 17–20 persen. Target ini disampaikan dalam acara Climate Solutions Partnership, Kamis (12/6/2025).
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan ESDM, Andriah Feby Misna menyatakan telah dilakukan revisi kebijakan nasional. Revisi ini ditujukan untuk mencapai target bauran energi tersebut.
Namun, realisasi bauran energi tahun lalu masih di bawah target. Dari 19,5 persen yang ditargetkan, hanya tercapai 14,68 persen.
Feby menyebut transisi energi menghadapi tantangan besar. Salah satunya adalah keterbatasan infrastruktur transmisi di negara kepulauan seperti Indonesia.
Ia menilai perlu ada interkoneksi antarpulau untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan. Hal ini menjadi fokus utama dalam pembangunan ke depan.
( sumber : rri.co.id )




