Fraksidemokrat.org, Jakarta – Anggota DPR RI asal daerah pemilihan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Eko Wijaya Parsito berpendapat ada peluang pengembangan potensi nuklir di Indonesia, khususnya di Provinsi Bangka Belitung. Potensi yang ada ini nantinya bisa menjadi pembangkit listrik jika memang memungkinkan.
Eko yang juga anggota Komisi VII DPR RI sekaligus Ketua Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral DPP Partai Demokrat mengatakan, selama ini pengembangan energi nuklir masih dalam tahap pro dan kontra.
“Seharusnya seluruh pihak bisa membedah secara komprehensif mengenai pengembangan potensi ini,” kata Eko di Gedung DPR/MPR Jakarta, kemarin.
Kementerian ESDM pun menurutnya telah membuat forum pembahasan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), pada Jumat (3/11/2017). Forum ini dihadiri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), ITB, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dan Kementerian Perindustrian.
“Menurut pandangan saya, ada beberapa aspek yang perlu dipenuhi sebelum mengembangkan nuklir. Pertama, mengenai cadangan. Saat ini salah satu potensi nuklir dalam negeri ada di Bangka Belitung,” tukasnya.
Ia menyebutkan, di Bangka Belitung tersedia potensi nuklir yang memiliki luas pelamparan aluvial sekitar 400 ribu hektare (ha). Dari luas itu, potensi atau sumber daya tersebut terdiri dari Thorium sekitar 120 ribu ton, Uranium 24 ribu ton, dan Unsur Logam Tanah Jarang diperkirakan mencapai 7 juta ton.
“Namun, itu masih perlu dibuktikan sebelum dikembangkan. Kemarin Kementerian ESDM koreksi. Yang ada bukan cadangan tapi potensi, kalau sudah cadangan tingkatannya artinya ada kepastian di situ,” kata dia.
“Nah selain itu, perlu juga disiapkan teknologi. Salah satu teknologi yang sudah teruji terkait nuklir berasal dari Rusia. Meski begitu, hingga kini ada 447 PLTN beroperasi di 31 negara, dan 61 negara sedang konstruksi. Perancis kapasitas terbesar yakni 75% bauran energi, sedangkan Cina paling aktif konstruksi,” paparnya.
Lebih jauh Eko merinci sejumlah negara yang akan membangun PLTN, seperti Uni Emirat Arab dengan kapasitas 4×1450 MW di 2018, Belarus 2×1200 MW (2018), Bangladesh 2×1200 MW (2023), Turki 4×1200 MW, 4x 1150 MW (2024).
“Mereka memerlukan waktu 10 tahun untuk mengoperasikan PLTN sejak diputuskan membangun nuklir,” imbuhnya.
Aspek lain yang perlu diperhatikan kata Eko adalah harga listrik dari pembangkit nuklir. Sebab keekonomian tarif PLTN saat ini belum memadai.
“Perhitungan tarif listrik PLTN di Bangka oleh Rosatom (Rusia) sebesar 12 cent US$ per kWh. Padahal harga beli maksimal PLN atau BPP sebesar 7 cent$ per kWh,” jelasnya.
Menurut Eko Wijaya, hingga kini belum ada perhitungan yang lebih akurat dan spesifik mengenai harga listrik dari pembangkit nuklir. Ini karena keekonomian PLTN sangat tergantung lokasi, meskipun beberapa publikasi global ada yang menyatakan 3 cent US$ per kWh.
“Kalau harga itu masuk maka PLTN ada kemungkinan bisa dibangun,” kata dia.
Faktor penting lain yang perlu diperhatikan sebelum membangun pembangkit listrik tenaga nukir adalah sumber daya manusia Indonesia yang mampu mengembangkan nuklir, terutama PLTN. Akan tetapi, secara garis besar Eko menilai Indonesia sudah memiliki banyak ahli nuklir.
Sedangkan aspek terakhir dan penting yang harus dipenuhi adalah kesiapan masyarakat dalam memasuki era PLTN. Terlebih selama ini nuklir masih menjadi momok dan belum banyak diterima masyarakat.
“Untuk itu perlu dilakukan studi untuk mensosialisasikan nuklir ke publik. Ini lihat kembali kesiapan masyarakat seperti apa, karena ini erat kaitannya dengan syndrome selama tidak di daerah saya silakan saja,” pungkas Eko Wijaya. (sumber : rakyatpos.com / ***)