Dalam sidang uji materi Perpu No. 49 Tahun 1960 tentang PUPN, yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/6), Hinca Panjaitan mewakili DPR meminta hakim MK untuk menolak permohonan pemohon yang sejatinya adalah warga negara biasa (rakyat) yang diwakilinya dalam memperjuangkan haknya di hadapan konstitusi.
Sikap atau keterangan Hinca justru menimbulkan pertanyaan fundamental: mewakili siapa sebenarnya Hinca berbicara? Bila ia mewakili DPR RI, maka ini bertentangan dengan fungsi dasar DPR sebagai wakil rakyat dan pembuat undang-undang.
“Justru dalam forum pengujian undang-undang di MK, peran DPR adalah membantu Mahkamah dengan memberikan keterangan yang memperkuat argumentasi konstitusional, termasuk bila ada ruang untuk perbaikan norma hukum demi kepentingan rakyat,” kata Andri Tedjadharma, kecewa dengan sikap DPR itu.
Alih-alih mendengar suara rakyat yang menjadi korban penerapan Perpu yang sudah usang, terbit di era orde lama, Hinca tampil seolah sebagai pembela Perpu yang cacat logika dan keadilan, serta menjadi corong narasi pemerintah yang dinilai Andri telah bertindak sewenang-wenang dengan menetapkan dirinya sebagai penanggung utang, bahkan menyita seluruh harta pribadinya dan keluarga.
“Ini adalah pengingkaran terhadap mandat legislatif dan sekaligus pengabaian terhadap fungsi representasi rakyat. DPR adalah wakil rakyat. Bukan wakil pemerintah,” seru Andri.
Sidang uji materi di MK sejatinya tidak mencari menang atau kalah, melainkan upaya menemukan kebenaran atas pasal pasal yang di uji demi terwujudnya sebuah UU dalam hal ini PP49 yang benar, baik dan tidak bertengtangan dengan UUD 45 serta mengadopsi HAM. Karena itu aneh sekali jika ada permintaan menolak pemohon, karena yang dipersoalkan bukan pemohon tetapi UU itu sendiri.
“Sering kali kita tertipu oleh pikiran kita sendiri dalam mencari kebenaran yang ansich benar, saya merasakan itu saat mendengar keterangan Hinca di sidang MK”, lanjut Andri.
Rakyat Dikriminalisasi
Kasus yang diuji bukan basa-basi. Ini tentang penyitaan paksa terhadap harta warga negara, Andri Tedjadharma, pemegang saham Bank Centris. Penyitaan itu dilakukan Satgas BLBI dan Kemenkeu yang menetapkan Bank Centris sebagai obligor BLBI dan Andri sebagai penanggung utang dengan dasar audit BPK 2006.
Padahal, audit BPK 2006 tentang PKPS yang dijadikan dasar penetapan justru dengan gamblang menunjukkan Bank Centris bukan obligor BLBI dan Andri bukan penanggung utang. Karena, tidak masuk dalam daftar PKPS dan penanganannya telah dialihkan ke Kejaksaan Agung dan menunggu putusan MA.
“Pemerintah tidak membaca audit tersebut, DPR juga tidak dan langsung menuduh. Indonesia Emas bisa jadi hanya sekedar slogan kalau perilaku para elit seperti ini,” ujar Andri melampiaskan emosinya.
Ia menilai DPR membiarkan dirinya sendiri dipakai untuk membenarkan kekeliruan pemerintah. DPR lupa fungsinya sebagai pengawas pelaksanaan undang-undang.
Karenanya, Andri berharap Mahkamah Konstitusi, melihat substansi perkara dari uji materi Perpu PUPN.
“Saya bukan penanggung utang. Saya telah buktikan berdasar bukti-bukti dari pemerintah sendiri, yakni Audit BPK yang telah disahkan majelis hakim di PN Jakarta Selatan, tahun 2000. Saya titipkan harapan terakhir pada logika dan nurani hukum. Kepada media independen, kami serukan: jangan ikut bungkam. Buka fakta ini. Sorot keganjilan ini,” imbuh Andri Tedjadharma.
( sumber : reportasenews.com )