Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marwan Cik Asan mendorong Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memperluas basis pajak nasional dengan menjangkau sektor-sektor baru, termasuk ekonomi digital. Menurutnya, perluasan ini penting guna menjaga keadilan dan kesinambungan penerimaan negara.
Marwan mengingatkan agar DJP tidak hanya fokus pada wajib pajak eksisting, atau yang kerap dianalogikan dengan istilah “berburu di kebun binatang”.
“Perlu kita mencari sumber-sumber pajak baru. Jangan kita mengobok-obok ‘kebun’ yang ada ini. Nanti khawatirnya kalau diobok-obok terus terjadi pembangkangan pajak karena orang merasa diperlakukan tidak adil. Ada sisi-sisi bagian yang tidak terkena pajak, ada sisi yang dipajakin terus,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama DJP di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/5).
Marwan menyoroti potensi besar dari sektor digital yang menurutnya belum dimaksimalkan. Ia mencatat, pada tahun 2020, penerimaan negara dari pajak digital hanya sekitar Rp32 triliun, padahal total transaksi digital saat itu mencapai Rp2.200 triliun.
“Potensi baru termasuk ekonomi digital ini harus kita sama-sama mulai tekankan. Kalau saya lihat data dari 2020 cuma Rp32 triliun dari pajak digital, sementara jumlah transaksinya Rp2.200 triliun. Sehingga ada potensi penerimaan negara setidaknya Rp220 triliun (10% dari transaksi digital),” jelasnya.
Politikus Partai Demokrat tersebut juga menekankan pentingnya mengurangi ketergantungan pada penerimaan pajak dari komoditas. Ia menilai, ketergantungan ini membuat pendapatan negara menjadi tidak stabil.
“Ketergantungan kepada pajak komoditas membuat pendapatan Indonesia selalu tak pasti. Pemerintah harus bisa mengatur napas sendiri,” tutur Marwan.
Usulan ini mencerminkan harapan DPR agar kebijakan perpajakan ke depan lebih inklusif dan berorientasi pada keadilan, dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal nasional.
( sumber : alinea.id )