Rektor UI (Universitas Indonesia) menjadi sorotan publik ketika melakukan pemanggilan kepada Pengurus BEM UI yang melakukan kritik kepada Presiden Joko Widodo di instagram official BEM UI.
Usai pemanggilan Pengurus BEM UI tersebut, publik pun mengetahui bahwa Rektor UI rangkap jabatan sebagai Komisaris di Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Sejak saat itu, masalah yang melibatkan Rektor UI pun menjadi topik pembicaraan di ruang pemberitaan publik dengan berbagai reaksi.
Merespons permasalahan itu, Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan pun mempertanyakan penerbitan Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2021 yang mengubah Statuta Universitas Indonesia (UI) yang semakin menyita perhatian.
Pasalnya, perubahan tersebut terjadi ketika rangkap jabatan Rektor UI sekaligus Wakil Komisaris Utama BRI (BUMN) mendapatkan sorotan publik karena melanggar Statuta UI.
Syarief Hasan menilai bahwa penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) ini menunjukkan oligarki kekuasaan yang semakin menguat karena pemerintah mengubah Statuta UI yang pada akhirnya melegalkan rangkap jabatan.
"Selama ini yang disorot adalah rangkap jabatan Rektor UI dan alasan pemanggilan pengurus BEM UI yang dinilai mengebiri kebebasan berpendapat, tetapi yang dilakukan oleh pemerintah malah mengubah Statuta UI yang pada akhirnya melegalkan rangkap jabatan tersebut," katanya.
Dilansir Pikiran-Rakyat.com dari MPR RI, Kamis, 22 Juli 2021, Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu mengungkapkan bahwa Statuta UI yang sebelumnya melarang Rektor UI melakukan rangkap jabatan, kini diubah redaksinya.
"Sangat jelas di dalam Statuta UI sebelumnya disebutkan bahwa Rektor dan Wakil Rektor dilarang menjadi pejabat BUMN/BUMD, maupun Swasta. Komisaris juga merupakan bagian dari pejabat BUMN. Namun, redaksinya diubah menjadi hanya dilarang rangkap jabatan Direksi BUMN," kata Syarief Hasan.
Syarief Hasan menilai bahwa perubahan tersebut menjadi preseden buruk bagi hubungan antara pemerintah dan kampus.
"Selama ini, kampus dikenal sebagai lembaga yang menjadi kawah candradimuka pemimpin masa depan yang tidak terikat dengan kepentingan tertentu. Penerbitan PP ini menjadi penegasan bahwa kekuasaan telah masuk dan berpotensi mengganggu independensi kampus-kampus dewasa ini," ucapnya.
Syarief Hasan mengkhawatirkan pola seperti ini yang akan semakin banyak dicontoh oleh kampus lain.
"Harapan kita selama ini, dosen-dosen di kampus negeri fokus menjadi pendidik, peneliti, dan pengabdi masyarakat yang jauh dari kepentingan praktis. Namun, sudah mulai bermunculan, akademisi kampus rangkap jabatan dan masuk ke dalam lingkaran kekuasaan yang penuh dengan kepentingan," tuturnya.
Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah memberikan independensi kepada kampus dan kebebasan berekspresi yang dijamin UUD kepada mahasiswa untuk menyuarakan pendapat.***